Tuesday, February 21, 2012

Seandainya Saya Normal

ads


Pada sore hari seperti biasa sepulang sekolah. Aku turun dari mobil jemputanku lalu aku berjalan tak karuan dan mengeluarkan banyak keringat.
“ Hehem… panas sekali  “, aku menarik-menghembuskan napasku yang hangat.  Mumpung bulan ini lagi musim kemarau jadi udara di sekitarku begitu panas sekali. Kulangkah kakiku masuk ke rumahku yang nyaman. Kulihat jam tanganku berwarna biru muda menunjukkan jam setengah empat sore. Setelah aku masuk ke rumahku, lalu aku masuk ke kamarku dan menaruh tasku, aku pun merebahkan tubuhku ke atas tempat tidurku.
“ Lelah sekali aku ini”. Aku bangkit dari tempat tidurku menuju ke dapur untuk mengambil minuman air putih. Ketika aku kembali dari dapur, kulihat mbak Tini,pembantuku tergesa-gesa menuju kea rah tempat telepon berada.
“Aku yang paling dekat tempat telepon berada. Kenapa aku tidak angkat telepon supaya mbak tidak kecapekan?” tanyaku dalam hati dengan kecewa. Aku memang tidak bisa mendengar suara telepon bordering karena aku ini anak tunarungu . aku mengalami cacat pendengaran sejak berusia satu tahun setelah terserang demam tinggi.
Ketika aku sedang menonton tv setelah sholat magrib, tiba-tiba datanglah mbak Tini.
“ Nina, tolong kecilkan volume suara tv ini !!! “. Teguran mbak Tini seperti biasa aku cuekin, karena aku sudah bosan mendengar teguran dari mbak berkali-kali dan juga teguran dari sepupuku.
“ Iya.iya.. aku segera kecilkan suara tv ini…”. Balasku dengan perasaan kesal. Aku pun mengecilkan suara tv. Aku heran padahal aku tidak mendengar suara tv itu.
“ Kenapa aku disalahkan ?  Apa gara-gara karena aku tunarungu ? “. Pikirku dalam hati sambil sedih.  “ Huffftt… “. Lalu aku kembali melanjutkan tontonan tv.
 Setelah menonton tv, aku mengambil air wudhu lalu melakukan sholat Isya. Sehabis sholat Isya, aku mengangkat kedua tanganku untuk berdoa kepada Allah SWT.
“Ya Allah… mengapa aku disalahkan oleh mbak Tini dan Riri gara-gara aku tidak tahu kalau ada volume suara tv yang keras tapi aku tahu itu bukan salah aku. Kenapa bisa salah aku… Astagfirullah adzim. Ampunilah aku, Allah Maha Agung… “. Lalu aku meneteskan air mataku dan bersujud kepada Allah.

Esoknya pagi hari di sekolahku, pada jam menunjukkan pukul setengah sebelas dan bel sekolah pun berbunyi memberi tanda bahwa eskul yang aku ikuti di sekolahku hari itu selesai. Waktu aku lagi menunggu mobil jemputanku di kanopi sekolahku, aku melihat sebagian teman-temanku sedang menelpon seseorang dengan hp mereka masing-masing dengan asyiknya.
“ Hmmm… menelpon itu sepertinya seru, tapi sayangnya aku tunarungu jadi aku tidak bisa menelpon hanya cuma bisa sms-an saja, hufft”. Tentu, aku sedih dan ingin tahu seperti apa rasanya jadi anak  normal.
“ Seandainya aku anak normal. Aku ingin seperti teman-temanku yang normal karena mereka bisa menelpon hp dan bisa mengobrol apa saja yang tidak saya ketahui…”. Lamunanku dikejutkan supir jemputanku,rupanya mobil jemputanku sudah datang lalu aku meninggalkan kanopi sekolah itu yang begitu kosong dan sepi.
Aku masih memikirkan keadaan aku yang tunarungu dan ingin seperti bagaimana rasanya menjadi anak normal dengan pendengaran yang normal. Tapi pikiranku semua tentang seandainya aku normal berubah, pada waktu di sekolahku ada kegiatan rohis keputrian membahas tentang “ Hidup Itu Tidak Sempurna” . aku baru menyadari diriku yang begitu lemah, aku sadar bahwa hidup itu selamanya ternyata tidak sempurna. Lalu aku mengangkat tangan kananku untuk bertanya.
“ Bu, mengapa hidup itu selamanya tidak sempurna ?”.
“ Nak, hidup itu selamanya tidak sempurna karena setiap orang pasti memiliki hidup tidak sempurna. Ada yang hidup bahagia dan ada yang hidup menyedihkan, semua itu sama saja. Yang menentukan hidup kita hanyalah Allah maka kita harus pandai bersyukur kepada Allah”. Jawab ibu guru panjang lebar. Aku pun terperanjat dan memikirkan kata-kata penjelasan ibu guru, tapi aku belum yakin maka aku bertanya lagi.
“ Bu, saya mau bertanya lagi. Apakah aku harus bersyukur karena aku memiliki cacat pendengaran ?”. mendengar kata-kataku, ibu guru pun memandangku.
“ Nina, walaupun kamu tunarungu tapi kamu harus bersyukur . kamu harus bisa bersyukur kepada Allah Karena kamu memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain walaupun kamu memiliki kekurangan”, tegas ibu guru dengan lembut.
“ Iya… bu. Nina mengerti “. Aku pun merasa bersalah pada diriku dan Allah. Aku sadar semua tentang itu. “ Dapatkah aku bisa bersyukur kepada Allah ?”. aku pun merenungkan kata-kata ibu guru dalam hati.
Sepulang sekolah, aku langsung mengaji. Setelah mengaji, lalu aku bertanya pada guru mengaji saya, bu Oche.
“ Bu, saya ingin bertanya. Menurut bu Oche, haruskan Nina bersyukur kepada Allah Karena aku memiliki cacat tunarungu dan ingin seperti anak normal? “. Mendengar pertanyaanku, bu Oche memandangku dengan heran.
“ Nina, kamu harus bersyukur pada Allah karena Nina anak yang pintar dan cerdas yang bu Oche tahu prestasimu yang diraih sukses”. Aku pun terperanjat melihat kata-kata yang dikeluarkan dari mulut bu Oche.
“ Ya… bu Oche tapi Nina belum bisa bersyukur cuma bisa sedikit bersyukur. Nina sangat kecewa karena aku tidak seperti teman-temanku yang normal “. Aku pun menangis sambil mengeluarkan air mataku yang pilu. Tiba-tiba datanglah ibu kandungku ke depanku sambil duduk di dekatku.
“ Nina, kamu harus bisa bersyukur atas kelebihan kamu yang tidak dimiliki orang lain. Kamu tunarungu karena sudah takdir ditentukann Allah kepadamu. Kalau kamu sedikit bersyukur berarti kamu tidak ikhlas bersyukur maka kamu harus bisa selalu bersyukur kepada Allah secara ikhlas“. Tak kusangka, ibuku mendengar pernyataanku. Kata-kata ibuku memang benar, aku memiliki kelebihan yaitu selalu meraih prestasi di sekolahku atau di luar sekolahku dan mempunyai bakat melukisku. Aku pun menundukkan kepalaku ke bawah lalu bu Oche mencolekku.
“ Nina, kamu anak yang pintar dan punya banyak prestasi di sekolahmu. Kamu selalu mendapat rangking satu. Bu Oche punya teman yang tunanetra yaitu tidak bisa melihat, tapi dia selalu bersyukur atas nikmat-Nya diberikan Allah. Dia tidak seperti kamu, kamu yang beruntung. Jadi Nina harus mau bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya kepadamu “.  Kata-kata bu Oche sangat benar. Walaupun teman bu Oche seorang tunanetra tapi dia selalu bersyukur atas nikmat Allah. 
“ Ya… Nina harus bisa bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya kepadaku. Alhamdulillahirobbilalamiin…. “.  Aku pun memandang ibuku dan bu Oche sambil mengangguk-ngangguk mengerti.
“ Ternyata aku harus bersyukur kepada Allah meski aku belum bisa bersyukur. Nina harus bisa bersyukur atas nikmat Allah”, kataku dalam hati. Aku pun kembali bersemangat.
Supaya teguran itu tidak berulang-ulang di kepalaku yang lagi mengalami stress maka pada setelah sholat magrib, aku menemui mbak Tini dan sepupuku bernama Riri.
“ Mbak Tini, Riri… kenapa aku ditegur karena gara-gara suara tv yang besar ? Nina tidak mendengar, Nina kan tunarungu “, tanyaku sambil protes. Kulihat mbak Tini dan Riri terdiam setelah mendengar pertanyaanku. Lalu mulut mbak Tini mulai berbicara.
“ Maaf mbak… makanya kalau kamu nonton tv, coba periksa apakah volume suara tv itu besar atau kecil. Kalau volumenya besar maka dikecilkan ya “. Aku pun manggut-manggut dan tersenyum mengerti.
“ Okeee… mbak. Aku  mengerti tapi kalau aku lupa memeriksa volume suara tv, jangan tegur yang keras. Kasih tahu aku dengan pelan-pelan yaa…”.  Lalu kulihat Riri memandangku dan mengangguk mengerti. Aku pun lega.
 Setelah sholat isya, aku mengangkat kedua tanganku sambil tersenyum lalu berdoa.
“Ya Allah… Alhamdulillahi terima kasih banyak, Allah . Nina sekarang sadar bahwa Nina harus selalu bisa bersyukur kepada Allah atas banyak kelebihanku walaupun Nina memiliki cacat tunarungu”.  Lalu aku beristigfar. Setelah beristigfar aku melakukan sujud syukur dengan penuh keikhlasan hatiku.
“ Alhamdulillahi…..”, bisikku dalam hati.
Untuk mengingat betapa pentingnya bersyukur kepada Allah, maka aku membuat lukisan kaligrafi potongan salah satu ayat di atas kanvas lukisan dengan latar belakang hamparan padang rumput sunyi dan damai penuh berkah dengan langit biru indah dihiasi pelangi yang merupakan wujud nikmat Allah yang sangat berharga. Lukisanku digantung di dinding mushola di rumahku. Setiap habis sholat, aku selalu memandangi lukisanku itu sambil merenungkan makna ayat tersebut.
Potongan ayat yang kutuliskan di atas kanvas lukisanku,
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, aku pasti akan menambah (nikmat) kepadamu, maka jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) sesungguhnya azab-Ku sangat pedih ( Q.S. Ibrahim ayat 7)”


Selesai

Seandainya Saya Normal Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

 

Top